Skip to main content

Aku yang Berbahagia



Sudah masuk waktu Subuh ketika aku menulis ini dan sudah terlipat rapi juga sajadah tempat ku bersujud tadi. Senyum sedikit terukir di bibirku, mataku menyipit. Di akhir doaku, baru kali ini aku tersenyum. Entah, apa itu senyum kelegaan atau senyum yang dipaksakan.

Akhir-akhir ini aku sering berpikir seberapa berartinya seorang aku. Aku mulai menghitung-hitung sudah berapa lama waktu yang aku habiskan untuk bersedih, mengurung diri di rumah, menangis, bahkan berhenti melakukan kegiatan yang aku suka. Aku sadar bahwa aku menyia-nyiakan hariku, lalu aku melupakan hal-hal positif yang selama ini telah tertanam dalam otakku.

Udara pagi hari tak pernah sesejuk ini. Ah, mungkin perasaanku saja yang tengah membaik. Udara pagi memang selalu sejuk, bahkan dari pertama kali aku lahir ke dunia ini. Mengingat kelahiranku, aku makin berpikir mengenai kesedihan yang berlarut-larut menghinggapi hatiku. Aku lahir di dunia ini membawa kebahagiaan untuk kedua orang tuaku. Ada harapan begitu besar yang terpancar dari mata mereka. Hingga aku tumbuh menjadi gadis remaja yang anggun, pintar, dan berakhlak baik. Semua baik-baik saja sebelum aku membiarkan kesedihan memasuki hidupku.

Ketika pertama kali aku mengalami kesedihan itu, aku masih bisa menghadapinya. Karena aku masih memiliki begitu banyak aura positif dan dengan mudahnya aku melupakan apa yang membuatku sedih. Namun semakin beranjaknya usiaku, aku makin tak bisa mengontrolnya. Kesedihan itu membawaku ke dalam lubang yang cukup dalam, hingga aku berubah menjadi gadis remaja yang urak-urakan, sering berkata kasar, dan cenderung mengurung diri. Aku membiarkan kesedihan menelanku ketika aku merasa sudah tak sanggup untuk berdiri di atas telapak kakiku yang mungil.

Hari ini aku mengingat kelahiranku. Aku mengingat harapan orang-orang yang tulus menyayangiku. Ketika tangisanku memecah dalam suatu ruang bersalin, senyum jelas terukir di wajah orang tuaku. Kehadiranku begitu ditunggu, kehadiranku begitu berarti. Sungguh besar harapan mereka untuk melihatku menjadi wanita yang selalu bahagia dan kuat menghadapi setiap masalah. Mereka merawatku, memberi segala yang aku inginkan, menghujaniku dengan rasa kasih sayang. Lantas aku berpikir, bodohnya aku merusak kebahagiaan yang telah mereka ciptakan untukku sejak aku dilahirkan. Bodohnya aku yang bersedih hingga lupa bahwa ada mereka yang habis-habisan berusaha membuatku tertawa.

Hatiku mulai menghangat kali ini. Aku berhak bahagia, bahkan aku memang harus bahagia. Aku mendongakkan kepalaku, menatap langit yang masih gelap. Aku belajar dari sebuah fajar. Kau tahu, untuk melihat matahari kau harus menyaksikan gelap terlebih dahulu, bukan? Dan gelap itu pun tak abadi, karena matahari pasti terbit. Begitulah sekiranya kehidupan ini. Sudah saatnya aku kembali bersinar setelah gelap yang cukup panjang. Ada banyak orang yang menantikanku untuk kembali tertawa dan bahagia.

Maka hari ini, aku memutuskan untuk berbahagia. Aku tak berkata bahwa kesedihanku telah sirna. Jelas belum, tapi hari ini aku ingin tertawa. Aku ingin kembali menjadi diriku yang bersemangat setidaknya untuk hari ini saja bila aku tak bisa mempertahankan semangat itu. Sakitku belum sembuh, namun selain obat, kemauan dari diri sendiri untuk sembuh juga dibutuhkan. Obat untuk sembuh pun tidak hanya satu. Bila sulit mendapatkan obat A atau kau tak sanggup membelinya, maka kau bisa menggunakan obat B yang juga menyembuhkan penyakit yang sama, walaupun efek menyembuhkannya mungkin tak secepat obat A.

Selama sedihku ini, aku selalu menjadikan ia obat. Aku selalu menjadikannya seseorang yang membuatku bangkit kembali karena aku menanamkan kalimat, “obat sakit hati itu adalah orang yang membuat sakit hati”.

Namun seperti yang sudah ku bilang. Bila tak ada obat A, kau bisa menggunakan obat B. Kali ini ia tak ada untuk menjadi obatku, maka aku harus mencari obat yang lain. Aku bisa bangkit tanpanya, aku bisa bahagia tanpanya, dan aku tahu itu. Aku hanya harus lebih bersabar lagi. Aku tak bilang aku berhasil melupakannya. Aku pun tak bilang aku berhasil terlepas dari segala ingatan tentangnya, bahkan jujur perasaanku padanya masih saja sama. Namun aku berhak bahagia. Aku berhak tertawa dan kembali bersinar. Ada banyak pijakan yang perlu ku lewati, ada banyak mimpi yang harus ku gapai.

Maka,
Inilah aku yang berbahagia.
Sambutlah aku yang berbahagia.
Sambutlah aku yang mencoba bahagia meski hanya satu hari aku berhasil melakukannya.

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Bentuk Bahagia

  Gue sedang berada di sebuah coffee shop berlokasi di dekat rumah gue. Gue terbilang sering ke tempat ini entah hanya untuk bertemu dan ngobrol dengan teman-teman gue atau numpang buka laptop. Sore ini, gue berniat melamar pekerjaan ke beberapa perusahaan, jadi gue membawa laptop. Nggak lupa gue juga hubungin teman-teman gue via whatsapp siapa tahu mereka ingin bergabung. Biasanya kalau sudah agak malam baru kita ngobrol-ngobrol. Sambil membuka tab job portal , gue juga sambil iseng buka quora sekedar cari insight , atau menikmati tulisan-tulisan dari banyak orang. Lalu ada satu pertanyaan yang telah dijawab oleh quoranian yang membuat gue akhirnya menulis ini, yaitu tentang bagaimana laki-laki bisa bucin terhadap pasangannya. Kata kunci, bucin. Iya, bucin. Dengan melihat kata bucin, gue langsung teringat diri gue yang memang tergolong bucin ketika menjalin sebuah hubungan dengan seseorang. Karena prinsip gue ketika mencintai seseorang, gue akan memberi seluruh hati gue, diri...

Kepergianku Untuknya (fiksi)

Pagi ini cuaca sedikit berangin. Aku masih tetap menatap laki-laki berkaos abu-abu yang tengah duduk di bangku taman. Suasana hatinya tetap sama selama ini, mungkin karena ia belum menerima kepergianku. Bagaimana bisa aku benar-benar pergi bila ada yang belum mengikhlaskan kepergianku, ditambah lagi laki-laki itu seperti tak memiliki semangat hidup lagi.             Namanya Raka, ia suamiku. Lima bulan setelah pernikahan kami, aku mengalami kecelakaan. Mobil yang kukendarai menabrak sebuah truk yang melaju kencang dari arah barat, dan belakangan kuketahui bahwa sopir yang mengendarai truk itu dalam keadaan mabuk. Aku melihat mobilku dikerumuni banyak orang, kemudian mereka mengangkat tubuhku keluar. Saat itu aku sadar bahwa aku mungkin telah pergi. Aku ingin menangis saat melihat Raka mengguncang tubuhku agar aku bangun. Tapi tubuhku enggan merespon guncangan itu. Darah terus mengalir dari kepalaku, kemudian disusul oleh darah ya...