Skip to main content

Posts

Showing posts from 2013

Puisi

Saat hujan itu, aku mendongakkan kepalaku ke atas Percikan airnya masuk ke dalam lubang hidungku Sakit, memang Tapi tak sesakit dahulu Ketika kau dan aku masih bersatu Namun terpisah oleh jarak dan waktu Kemarau tiba Ketika seluruh raga gersang Kering kerontang Mata air kini banyak dicari Layaknya kamu Yang menghadiri tiap pucuk-pucuk sepi Kalau pelangi itu adalah kamu, maka yang berkata itu berdusta Pelangi indahnya lekas pudar, sedang kamu tidak Kalau aroma kopi itu adalah kamu, maka yang berkata itu penipu Sebab kamu tak hanya sesaat kusesap, kamu lebih dari sekedar kupeluk; kumiliki Kalau pujangga berbasa-basi tentang cinta, maka mereka itu bergurau Bagaimana bisa segalanya kau diberitakan sebagai pemberi kehampaan? Kalau ada yang berucap akulah selama-lamanya milikmu, tak sekalipun ia benar Sebab aku akan pergi, tinggal alunan rindu yang terdengar

Terlalu Tinggi

Kamu berada di tempat yang cukup rendah Namun terlalu tinggi untuk kugapai Kita berada di posisi yang sama Tapi apa yang membuatmu lebih tinggi—bahkan sangat tinggi? Tak ada tangga untuk kusandarkan di sisi tembokmu Tak ada pijakan untuk kupijak tebing yang menghalangi Tak ada apapun untuk aku bisa menggapaimu Karena aku, wanita miskin tanpa apa-apa Aku pernah bilang bahwa aku akan terus berusaha Tapi bagaimana? Aku tak punya sedikitpun media Semoga Tuhan menguatkanku Tenang, aku takkan menangis Apalagi untuk menyerah Aku belum cukup bodoh untuk melakukan itu Aku masih bisa memikirkan yang lebih baik dari ini Aku punya mereka Yang kadang bisa sepertimu Walau tak sama Tapi mereka bisa sama sepertimu Sekali lagi mereka bisa sama sepertimu

(Fiksi) Kisah Cinta

Gue udah gede sekarang. Eh, badan doang ding yang gede, pikiran belum.             “EMANGNYA PIKIRAN BISA GEDE, DYK?” Enggak, bukan gede. Tapi dewasa! Ya maaf, sih, namanya juga manusia. Kadang salah, kadang ngotot nggak salah. Udah, lanjut lagi ya. Dewasa itu kayak gimana, sih? Yang udah kenal sama cinta, gitu? Gue udah kenal sama Cinta, orang sekelas. Berarti gue udah dewasa ya?             “BUKAN CINTA YANG ITU, WEY!” Iya, oke. Bukan Cinta yang ada di kelas gue. Bukan juga Cinta anaknya Uya Kuya, apa lagi Cinta bini-nya Bang Somad. Ini cinta, jatuh cinta. Yang bikin love-love di udara itu, loh! Yang bikin nggak tidur semalaman karena mikirin dia, yang bikin kupu-kupu nempel di perut. Yang bikin jatung deg-deg-an secara maksimal. Jedag-jedug-jedag-jedug, duar. Mati. Ngomong-ngomong soal jatuh cinta nih, ya, gue pernah ngalamin yang namanya jatuh cinta. Oh, bukan! Bukan jatuh di atasnya C i nta! Jatuh cinta yang gue alamin agak pahit, agak kelam, tapi ada manisnya kok. *

Singkat pada Tanjung Papuma (Part I)

“Anak-anak, kita sudah sampai di Tanjung Papuma. Ibu beri kalian waktu dua jam untuk menikmati indahnya tempat ini. Garis kuning di ujung sana adalah batas kalian berpergian. Kalian tidak boleh melebihi batas itu. Mengerti?” tanya Bu Ros.                 “Siap, bu!” jawab kami serempak.                 Aku memisahkan diri dari teman-temanku. Kamera sudah kukalungkan di leherku sejak di bus tadi. Udara di sini sangat sejuk, banyak sekali batu-batu besar. Sungguh objek alam yang indah. Aku menghirup napas dalam-dalam lalu aku mengeluarkannya pelan-pelan. Tanjung Papuma, tempat yang saaaangat indah. Bu Ros benar.                 Aku membidik kameraku ke arah sebuah batu besar yang tengah dihantam ombak. KLIK. Hasilnya bagus, warnanya terlihat natural. Ada kesan emosi di dalam foto yang berhasil kuambil. Sasaran kedua ku adalah batu di sebelah utara dekat pohon kelapa. 1... 2....                 HEI!                 Ada seorang gadis di sana. Siapa dia? Ah, si cantik berlesung

Hujan Desember

Hujan sore itu tak sedikit. Butiran air yang jatuh tak sendiri di Bulan Desember itu memaksa Ratna lebih berlama lagi menghirup aroma kopi sekaligus meneguknya di sebuah cafe. Kopi itu masih hangat dan sedikit manis berwarna hitam tapi tak terlalu pekat. Ratna melepas kuncir rambutnya dan memasang softlens yang sempat ia lepas. Matanya yang bulat terlihat makin indah dengan bulu mata lentik sebagai penghias. Ratna pun kembali menikmati kopinya.                 Dari arah pintu, tampak seorang laki-laki bertubuh tegap dengan kacamata berbingkai hitamnya. Rambutnya menyentuh kerah, giginya rapi. Ia memakai jaket kulit berwarna cokelat dengan celana jeans berwarna hitam. T-shirtnya berwarna hitam polos, tatapannya lurus ke arah wanita berbaju biru dengan rambut ikal tergerai bebas. Wanita itu juga melihat ke arahnya.                 “Rain..” ucap Ratna lirih nyaris tak terdengar. Mata bulatnya meneduh, menyiratkan begitu banyak kenangan yang terukir.                 Lelaki bernama