Skip to main content

Bentuk Bahagia

 Gue sedang berada di sebuah coffee shop berlokasi di dekat rumah gue. Gue terbilang sering ke tempat ini entah hanya untuk bertemu dan ngobrol dengan teman-teman gue atau numpang buka laptop. Sore ini, gue berniat melamar pekerjaan ke beberapa perusahaan, jadi gue membawa laptop. Nggak lupa gue juga hubungin teman-teman gue via whatsapp siapa tahu mereka ingin bergabung. Biasanya kalau sudah agak malam baru kita ngobrol-ngobrol.

Sambil membuka tab job portal, gue juga sambil iseng buka quora sekedar cari insight, atau menikmati tulisan-tulisan dari banyak orang. Lalu ada satu pertanyaan yang telah dijawab oleh quoranian yang membuat gue akhirnya menulis ini, yaitu tentang bagaimana laki-laki bisa bucin terhadap pasangannya. Kata kunci, bucin. Iya, bucin.

Dengan melihat kata bucin, gue langsung teringat diri gue yang memang tergolong bucin ketika menjalin sebuah hubungan dengan seseorang. Karena prinsip gue ketika mencintai seseorang, gue akan memberi seluruh hati gue, diri gue, untuk orang itu. Katanya nggak boleh karena orang itu bisa pergi tiba-tiba. Tapi kan, namanya jatuh cinta, memang sudah sepaket dengan patah hati. Ketika lo jatuh cinta, maka lo juga harus siap dengan resiko patah hati. Kali ini gue akan bercerita, bagaimana pasangan gue yang sekarang bisa membuat gue merasa sangat menyayangi dia walaupun ada satu kekurangan di dalam dirinya yang sebenarnya adalah hal yang gue hindari dalam kriteria pasangan gue: cuek.

Seperti yang kalian tahu, gue kenal laki-laki ini lewat dating apps. Sebelumnya gue nggak tahu lingkungan dia bagaimana, teman-teman dia siapa saja. Dia benar-benar orang baru dan gue clueless, nggak tahu harus cari tahu tentang dia dari siapa. Gue berbekal percaya dan mengikuti insting gue sebagai seorang perempuan. Singkat cerita, gue menaruh perasaan dengan laki-laki ini dan kami akhirnya menjalin sebuah hubungan.

Dia tinggal di Pamulang sedangkan gue di Bekasi. Jauh, kan? Banget. Sebelumnya, gue menjalani hubungan jarak jauh dan setelah gagal, gue berniat nggak mau lagi mencari laki-laki yang tinggalnya jauh dari rumah gue. Tapi ternyata Tuhan mempertemukan gue dengan dia yang jaraknya 30 km lebih ke rumah gue. Nggak apa-apa, gue pikir begitu. Toh nggak jauh-jauh banget kalau dibandingin dengan yang kemarin, lanjut gue dalam hati.

Di awal-awal kami berpacaran, seperti layaknya orang yang dimabuk cinta, semua benar-benar terlihat sempurna dan manis. Sudah nggak terhitung intensitas senyum-senyum sendiri sambil memegang handphone, kangen padahal baru ketemu, chat yang nggak terputus, gombalan-gombalan yang menggelitik perut, dan banyak hal lainnya. Sampai tiba saat dia makin sibuk dengan kerjaan dan hobinya, sedangkan gue sibuk dengan tidak melakukan apapun. Mungkin juga karena kami sudah cukup mengenal satu sama lain, kualitas obrolan kami berkurang karena sudah tidak ada yang harus saling kami cari tahu. Lebih banyak obrolan haha hihi hehe, yang semula panjang pun sekarang jadi singkat walaupun intensitasnya tetap sama. Dia mulai terlihat lebih cuek dan gue mengeluhkan hal itu. Berkali-kali gue protes, kesal, lalu dia minta maaf dan mencoba untuk mengurangi kadar cueknya. Tapi tetap saja, dia kembali seperti itu karena memang itu karakternya yang nggak bisa gue ubah. Masalah mulai bermunculan, pertengakaran-pertengkaran kecil, kesalahpahaman, sampai gue yang sempat kehilangan spark.

Dengan segala kekurangan yang ada dalam hubungan gue sekarang, gue tetap bersyukur karena dia orangnnya. Gue bersyukur sampai sejauh ini gue nggak merasa salah memilih pasangan. Di balik sifat cueknya, dia adalah laki-laki yang sabar. Dia nggak pernah marah sama gue, membentak gue, bahkan sekedar berbicara nada tinggi. Ketika gue marah, dia selalu ajak gue ngobrol, mencari celah agar gue nggak diam. Dia adalah tipe orang yang ingin masalah cepat selesai, sedangkan gue butuh waktu untuk membicarakannya karena gue termasuk orang dengan tingkat emosi yang tinggi. Gue nggak mau apa yang keluar dari mulut gue membuat gue menyesal. Dialah orang yang mengalah untuk gue, dan memilih mengikuti gue dengan memberi gue waktu untuk menenangkan diri sebelum akhirnya kami membicarakan masalah dalam hubungan kami. Nggak sulit baginya untuk mengucap kata maaf walaupun gengsinya tinggi. Setiap gue menganggap dia salah, dia meminta maaf diikuti dengan penjelasan mengapa dia melakukan kesalahan itu. Dia memiliki idealisme yang tinggi tapi dia tetap bisa diajak berdiskusi. Karena sifatnya yang cuek, berkepala dingin, nggak mudah tersinggung dengan hal-hal kecil, gue benar-benar nyaman dan merasa aman membicarakan apapun yang gue rasakan. Gue juga nggak merasa tertindas, tersakiti, karena dia mau mendengarkan gue. Bertukar pikiran bersama dia itu sangat menyenangkan untuk gue. Gue punya beberapa pengalaman buruk di masa lalu, saat itu gue merasa jatuh dan merasa tidak lagi memiliki value. Gue ceritakan semua ke dia, dan dia menerima itu. Dia tidak menjadikan kesalahan gue di masa lalu sebagai senjata untuk membuat gue merasa bersalah dan gue sangat menghargai itu. Mungkin bagi beberapa orang, hal-hal yang gue sebutkan di atas merupakan hal basic yang harus ada dimiliki oleh pasangan kita dan kita harus mencari hal lebih lainnya. Namun untuk gue yang belum pernah merasakan hal tersebut, gue sudah merasa cukup dan bahagia. Gue bahagia dengan menjadi diri gue ketika bersama dia. Gue bisa bebas mengembangkan potensi dalam diri gue, bercengkrama dengan orang-orang baru, bahkan menghabiskan waktu bersama teman-teman gue. Dia memberi gue kesempatan untuk terus hidup, untuk menjadi versi terbaik dari diri gue.

Gue tahu, mungkin rasanya terlalu cepat untuk mengambil sebuah keputusan bahwa dia adalah “the one and only” karena jalan gue pun masih panjang. Tapi bagi gue, beginilah cara gue bahagia dan bersyukur untuk kehadiran dia di hidup gue. Gue nggak pernah tahu bagaimana rencana Tuhan, setidaknya gue berusaha menjaga apa yang sudah Ia beri. Kalaupun dia bukan yang terakhir untuk gue, gue rasa gue nggak menyesali itu karena banyak pelajaran yang bisa gue ambil dari hidup dia yang dia rasa flat. Gue tahu bahagia itu sangat sederhana, dan ketika gue merasa bahagia, gue akan memelihara kebahagiaan itu sebaik mungkin. Dan sebagai seseorang yang sedang jatuh cinta, gue hanya berharap bisa terus menjadi pasangan yang baik dan pantas untuk pasangan gue.

Comments

Popular posts from this blog

Omegle

            Selamat malam!             Good evening!             Guten Nacht!             Apa lagi? Udah, tiga aja deh ya sapaannya. Kangen nggak sama gue? Nggak ya, pasti? Fix, gue kepedean. Okay, langsung aja ya ke ceritanya.             Omegle. Wih, hahaha dari judulnya aja udah bikin lo mikir, “cailah, anak omegle.” Ya, nggak? Di sini gue mau bahas pengalaman gue saat video chatting di omegle. Gue nggak tau post kali ini bakalan seru apa nggak, tapi makasih banget kalau lo emang mau baca post ini sampai akhir. Let’s start!             Gue kenal omegle itu sekitar kelas 1 SMP. Iya, kayaknya. Dulu gue buka omegle di kelas, sama anak 7-6. Kita ngebajak komputer kelas, nyalain infocus. Yah, pokoknya gitu lah. Lampu segala dimatiin biar suasananya remang-remang seru gitu, kan. Gue ingat banget awalnya kita nggak pakai interest apa-apa (kalau lo suka buka omegle, lo pasti tau). Setelah klik video, nyalain webcam, kita nungguin. Dan tiba-tiba.... JENG! Bule ganteng. Oke, gue ul

Ajari Aku

Setelah malam yang begitu panjang, kukira fajar adalah yang kutunggu Kupikir gusar bisa hilang dengan sendirinya Ternyata rindu tak bisa pergi begitu saja Aku telah kehilangan ia, yang tak mencintaiku sejak pertemuan pertama Nafsu dunia mengajarkanku sesuatu yang nyata Sedetik saja hasrat memeluk, air mata melepas diri dengan mudahnya Kehilangan ia tak pernah kupersiapkan Terbayang saja tidak ketika ijab-kabul telah sah sepenuhnya Karena akhirnya takdir yang berbicara Tak memiliki, namun kehilangan berkali-kali Ajari aku mengobati hati yang kelukur agar kembali genap Ajari aku mengikhlaskan tuan dalam sukma