Pagi ini cuaca sedikit
berangin. Aku masih tetap menatap laki-laki berkaos abu-abu yang tengah duduk
di bangku taman. Suasana hatinya tetap sama selama ini, mungkin karena ia belum
menerima kepergianku. Bagaimana bisa aku benar-benar pergi bila ada yang belum
mengikhlaskan kepergianku, ditambah lagi laki-laki itu seperti tak memiliki
semangat hidup lagi.
Namanya Raka, ia suamiku. Lima bulan setelah pernikahan
kami, aku mengalami kecelakaan. Mobil yang kukendarai menabrak sebuah truk yang
melaju kencang dari arah barat, dan belakangan kuketahui bahwa sopir yang
mengendarai truk itu dalam keadaan mabuk. Aku melihat mobilku dikerumuni banyak
orang, kemudian mereka mengangkat tubuhku keluar. Saat itu aku sadar bahwa aku mungkin
telah pergi. Aku ingin menangis saat melihat Raka mengguncang tubuhku agar aku
bangun. Tapi tubuhku enggan merespon guncangan itu. Darah terus mengalir dari
kepalaku, kemudian disusul oleh darah yang keluar dari telingaku. Tak lama,
mobil Ambulance datang, dan mereka membawa tubuhku ke rumah sakit yang aku lupa
namanya.
***
“Aku mau kerja dulu, kamu jangan aneh-aneh ya di rumah.
Terus nanti kalau aku udah di rumah, aku pengen kamu udah masak makanan
kesukaan aku.”
Raka membetulkan letak dasinya, ia meneguk secangkir teh
yang telah kubuat. Itu termasuk rutinitas yang harus kulakukan sebelum ia
berangkat ke kantor.
“Iya, Mas.”
“Oh iya, ini tehnya kurang gula. Kamu kenapa sih, bikin
teh aja masih salah?”
“Iya maaf, Mas. Tadi aku cicipin rasanya udah manis.”
“Ah, lidahmu tuh bermasalah, kali. Ya udah, aku berangkat
dulu.”
Aku mencium tangannya, lalu ia mengecup keningku. Aku
mengantarnya ke depan rumah, kemudian mengunci pagar. Ia selalu berpesan agar
pagar rumah selalu terkunci karena aku sendirian di rumah. Aku sempat memintanya
mempekerjakan asisten rumah tangga untuk memudahkanku mengurus rumah yang cukup
besar ini, namun ia menolak. Alasannya agar aku bisa melayani dirinya tanpa ada
campur tangan orang lain, dan aku terima itu.
Aku bergegas mencuci pakaian, beberapa kumasukkan ke
mesin cuci, beberapa kucuci dengan tanganku. Ia akan marah bila tahu kemejanya
tak kucuci dengan tangan, katanya mesin cuci bisa merusak kemeja kesayangannya
itu. Lalu setelahnya aku langsung menjemur pakaian yang telah kucuci bersih di
tempat yang berbeda. Kemeja miliknya harus berada di tempat yang tak terlalu
terik terkena sinar matahari, lagi-lagi ia takut kemejanya rusak.
Aku menyeka keringat di dahiku. Aku tak merasa keberatan
melakukan semua ini karena aku mencintainya dan ini sudah jadi tugasku untuk
melayaninya. Mulai dari memasak, mencuci, menyetrika, menyapu, semuanya.
Jam menunjukkan pukul 10 pagi, aku menyalakan televisi
untuk melihat acara masak kesukaanku. Resep yang dipakai sangat cocok dengan
lidah suamiku, dan ia selalu menyukainya. Kali ini aku berusaha untuk menaruh
remote TV di tempat yang benar, karena ia seringkali marah ketika ia melihat
remote itu berada tidak di atas meja. Aku mencatat resepnya, kali ini ada
masakan baru dan kurasa suamiku akan sangat menyukainya. Tak lupa aku menempel
resep yang telah kutulis di pintu kulkas agar aku mudah membacanya. Setelah
acaranya selesai, aku segera mengganti bajuku untuk pergi ke supermarket
membeli bahan-bahan untuk makanan suamiku sepulangnya kerja nanti. Kebetulan supermarket
itu tak terlalu jauh dari rumahku, sehingga aku lebih memilih naik ojek daripada
naik mobil pribadi.
Di supermarket, aku bertemu teman lamaku. Namanya Siena,
kami sangat akrab karena kami telah saling mengenal sejak kami duduk di bangku
SMP.
“Ana, beli apa nih hari ini?” tanya perempuan berambut
sebahu itu.
“Hmm.. Aku mau beli bahan-bahan untuk masak ayam
tandoori, nih.”
“Resep baru? Enak banget, ya si Raka bisa nikah sama
kamu. Udah kamunya sabar, pinter masak, cantik lagi.”
“Hahahaha nggak seenak itu, kok. Kan aku kalo tidur masih
ngorok!”
Kami tertawa terbahak-bahak, berbincang tentang hal apa
saja yang telah terjadi dalam rumah tangga kami. Ia telah menikah juga, sama
sepertiku. Suaminya seorang pilot, dan ia tak diperbolehkan untuk kerja agar
fokus mengurus anak.
Setelah membeli bahan-bahan masakan, aku pulang untuk
mengerjakan pekerjaan rumahku yang lain. Aku menata belanjaanku di dapur agar
terlihat rapi, kemudian aku mengganti bajuku agar baju ini bisa kupakai lagi.
Sebetulnya Raka tidak suka bila aku memakai baju dua kali, padahal menurutku
baju yang kupakai masih bersih dan wangi karena hanya kupakai sebentar.
Aku mengerjakan pekerjaan rumah hingga tak terasa waktu
menunjukkan pukul tiga sore. Handphone-ku berdering dan tertulis nama Raka di
sana.
“Halo, Mas. Ada apa?”
“Sayang, jemput aku sekarang bisa nggak? Mobilku lagi di
bengkel, nanti kukirim lokasinya.”
“Iya, sebentar lagi kujemput ya, Mas.”
“Oke, makasih ya, Na.”
Tepat sesudah ia menutup teleponnya, aku segera mengganti
bajuku dan menjemputnya. Kali ini aku menggunakan mobil miliknya yang lain
karena mobilku sedang kotor. Ia tak suka bila aku mengendarai mobil yang
terlihat kotor. Aku mengecek handphone-ku untuk melihat lokasinya. Aku merasa
asing karena itu bukan bengkel yang biasa ia datangi. Namun aku tetap berusaha
membaca petanya, walaupun itu sedikit menghambat perjalananku.
Sudah empat puluh lima menit aku tak kunjung sampai ke
lokasi yang ia maksud. Aku pun meneleponnya.
“Halo, Mas. Aku masih nggak nemu bengkelnya. Maaf, ya.
Kamu bisa tunggu sebentar, Mas?” aku bertanya hati-hati karena tahu ia pasti
kesal menunggu lama.
“Kamu nih, masa baca maps aja nggak bisa? Coba baca yang
bener, seharusnya dari rumah kita hanya tiga puluh menit!” nadanya terdengar
meninggi.
“Iya, Mas. Aku juga lagi berusaha membaca maps. Kamu
sabar sedikit, ya. Sepuluh menit lagi aku sampai, aku coba ngebut ya, Mas.” Aku
fokus membaca maps sambil mendengarkan suara Raka di sana.
“Iya, jangan lama-lama. Aku udah capek masa kamu jemputnya
lama. Aku tungg—“
Teleponku terputus.
“Halo? Ana? Halo? Ah, gimana sih?” Raka mulai kesal
karena telepon terputus begitu saja.
Aku berusaha meraih handphone-ku yang tiba-tiba berada di
bawah pedal gas mobilku, tapi aku tak bisa menyentuhnya. Aku menoleh ke
belakang dan aku melihat tubuhku berlumuran darah. Aku melihat mobilku
dikerumuni banyak orang, kemudian salah satu dari mereka memecahkan kaca
mobilku dan mengangkat tubuhku keluar. Saat itu aku sadar bahwa aku mungkin telah
meninggal. Tak lama polisi datang. Ia mengambil ponselku yang untungnya tidak
rusak dan melihat panggilan terakhirku di sana. Ya, ia menelepon Raka.
“Selamat sore, apa betul ini Bapak Raka?” tanyanya dengan
suara berat.
“Iya, betul. Ini siapa, ya?”
“Saya dari pihak kepolisian ingin mengabarkan bahwa istri
anda mengalami kecelakaan.”
Tak begitu jelas kudengar percakapan mereka, hanya kata
terakhir dari polisi berkumis tebal itu saja yang kuingat sampai sekarang.
“Baik, Pak Raka. Kami tunggu kedatangan Bapak.” Lalu Polisi
itu menutup teleponnya.
Selang beberapa menit, Raka datang ke lokasi di mana aku
mengalami kecelakaan. Aku ingin menangis saat melihat Raka mengguncang tubuhku
agar aku bangun. Tapi tubuhku enggan merespon guncangan itu. Darah terus
mengalir dari kepalaku, kemudian disusul oleh darah yang keluar dari telingaku.
Tak lama, mobil Ambulance datang dan mereka membawa tubuhku ke sebuah rumah
sakit. Di dalam Ambulance, tak henti-hentinya Raka menguatkanku agar aku
bertahan. Ia menggenggam tanganku dalam tangannya yang berkeringat. Ia
menangis, dan baru kali ini aku melihatnya menangis. Ia membelai rambutku dan
ia terus menatapku tanpa berpaling sedikitpun.
Di rumah sakit, aku langsung dibawa ke UGD. Ia hanya bisa
melihatku dari balik pintu. Ia berkeringat, kemeja kesayangannya itu terkena
darahku. Aku ingin memeluknya sekarang, aku ingin meminta maaf karena mengotori
kemejanya itu.
Tak lama, dokter yang masih terbilang muda itu keluar. Ia
menepuk bahu suamiku dan berkata bahwa aku sudah tak bisa diselamatkan lagi. Ia
terduduk lemas di depan pintu, kemudian entah kapan orang tuaku dan orang
tuanya datang, membantunya berdiri untuk bertemu diriku terakhir kalinya. Ia
masih menangis, ia masih mengguncang tubuhku, ia memarahi tubuhku yang tak
kunjung meresponnya. Ia memelukku begitu erat, aku masih bisa merasakannya
walaupun kini aku berdiri di sebelahnya. Penampilannya kini benar-benar
berantakan, wajahnya pucat dan matanya begitu merah karena menangis. Ia
menjambak rambutnya sendiri, ia masih tak memercayai kepergianku.
Ketika aku hendak dikuburkan, ia bersikeras ingin ikut
turun terkubur bersamaku. Keluarga kami tak tahu mengapa ia begitu berat melepasku.
Ia seperti hilang kendali dan terus memintaku untuk kembali. Orang tuanya
merangkulnya erat, mengajaknya kembali ke rumah karena semua benar-benar telah
terjadi. Aku telah meninggalkannya dan ia harus kembali sendiri.
Di depan rumah, ia mendapati pagar rumahnya terkunci
karena sebelum pergi aku selalu menguncinya. Sampai di garasi, lututnya makin
melemas ketika ia melihat mobilku yang kotor terparkir rapi. Kemudian ia
melihat kemejanya terjemur di tempat yang ia mau. Ia mengambil kemejanya
kemudian memeluknya. Ia terus menangis, mengingatku yang berkali-kali ia marahi
bila tak menjemur kemejanya sesuai apa yang ia mau. Di dalam rumah, ia melihat
ke arah meja. Remote TV itu berada di sana, dan ia membanting remote itu. Ia
berkata bahwa tak apa-apa bila aku menaruhnya sembarangan, bahkan sampai hilang
pun ia berjanji tak akan memarahiku. Ia benar-benar terpukul atas kehilanganku
dan itu membuatnya ingin berbaring di kamarnya—atau lebih tepatnya kamar kami.
Ia masuk ke kamar dan saat menutup pintu, ia melihat pakaianku tergantung di
sana. Ia ingat saat dirinya memarahiku karena aku tak mengganti bajuku setelah
pergi. Ia mengambil baju itu kemudian menciuminya. Wangi parfumku membuatnya
makin terlarut dalam kesedihannya. Ketika ia mencoba memejamkan matanya, ia
merasa tempat tidur kami kini sangat kosong. Ia sudah merindukan aku yang
selalu memberantaki sprei kasur kami. Ia pun kini mencari suara dengkuranku
yang biasanya ia benci. Ia berkali-kali memanggil namaku dan memintaku kembali.
Aku ingin menenangkannya saat ini, tapi aku hanya bisa memandanginya karena aku
tak bisa menyentuhnya lagi. Tak lama, ia pun tertidur dalam kesedihannya.
Pagi hari ia terbangun dari tidurnya yang ternyata cukup
lama. Matanya terlihat bengkak dan ia merasa sulit membuka matanya. Ia berjalan
keluar kamar dan memanggil namaku untuk membuat secangkir teh. Sesaat kemudian
ia ingat bahwa aku telah pergi dan tak ada lagi aku untuk membuatkannya teh. Ia
berjalan ke dapur dan membuat tehnya sendiri. Ia kembali menangis, mengingat
diriku yang sering salah menaruh takaran gula ke dalam tehnya. Ia berkata bahwa
tak apa aku salah menaruh gulanya, bahkan tak memakai gula pun ia berjanji tak
memarahiku lagi. Belum hilang kesedihannya, ia melihat bahan-bahan masakan yang
hendak kubuatkan untuknya. Ia menyentuh bahan-bahan itu, dan ia melihat catatan
resepku di pintu kulkas. Ia mengambil dan membacanya. Ia menggelengkan
kepalanya, tertawa lirih jika mengingat aku yang begitu semangat memasakannya
sesuatu yang baru. Belum lama, ia sudah merindukan masakanku. Perutnya terasa
lapar, ia tak punya pilihan selain mencoba membuat masakan dengan petunjuk
resep yang kucatat. Step pertama ia berhasil, step kedua pun cukup mulus. Saat
step ketiga, ia menyerah. Ia tak bisa memasak, aku pernah mengajarinya, namun
ia bilang bahwa memasak hanyalah tugas istri. Aku melihatnya membuang semua
bahan yang telah kubeli. Ia melempar asal bahan itu ke tempat sampah. Ia berteriak
memanggil namaku untuk kesekian kalinya.
Hari berganti hari, keadaannya mulai membaik walaupun
kesedihannya masih sama. Ia mulai mau makan dengan menu catering yang dipesan
ibuku. Berat badannya turun drastis, tak ada sinar terpancar dari mata
coklatnya. Ibuku mengajaknya berbicara di suatu pagi, di ruang tamu. Ia
menyuruh suamiku untuk kembali bangkit karena sudah empat puluh tiga hari
semenjak kepergianku ia tak bisa menata hidupnya. Ibuku memeluk suamiku erat,
memberinya semangat dan mengingatkannya bahwa waktu terus berjalan. Kemudian
ibu mengeluarkan amplop berisi surat milikku dan meminta suamiku membacanya.
Suamiku
Raka,
Aku
bahagia sekali bisa menikahimu. Aku bahagia menikahi laki-laki yang sangat
kucintai. Aku yakin pasti kehidupan rumah tangga kita akan baik-baik saja. Aku
tahu kamu laki-laki yang setia, walaupun terkadang kamu suka marah. Aku akan
terus melayani kamu sebagai seorang istri. Aku mau setiap pagi membuatkanmu
secangkir teh atau segelas susu, aku juga tidak keberatan bangun lebih pagi
untuk menyiapkan sarapan untukmu, menyetrika kemeja kesayanganmu. Aku ingin
selalu shalat berjamaah bersamamu, mengaji bersama, bahkan aku membayangkan
akan berpuasa dan merayakan lebaran bersama kamu. Aku akan benar-benar mengurus
kamu, aku akan memasakanmu makanan yang enak, aku akan mengusahakan untuk
selalu menemukan resep baru yang cocok di lidahmu. Aku nggak akan boros dalam
memakai uang yang kamu berikan setiap bulannya. Aku juga akan menyayangi
mamamu, seperti aku menyayangi mamaku.
Oh
iya, minggu depan aku akan berhenti kerja dan fokus mengurus rumah. Aku sudah
membuat suratnya, semoga saja managerku tidak memarahiku karena aku resign. Aku
mau menyayangimu sepenuh hati, menyayangi anak-anak kita seperti ibuku
menyayangiku dan ibumu menyayangimu.
Aku
hanya meminta satu hal darimu, Mas. Tolong bersabar ya dengan
kesalahan-kesalahan yang mungkin aku lakukan. Tapi aku akan berusaha
meminimalkan kesalahan yang kuperbuat. Aku akan belajar menjadi istri yang
baik, dan aku akan membuatmu merindukanku ketika aku tidak ada di rumah. Jika
aku pergi lebih dulu darimu, aku memperbolehkanmu mencari penggantiku, Mas.
Karena aku selalu ingin kamu bahagia, bahkan lebih bahagia dariku. Walaupun aku
mengizinkan, aku tetap berdoa agar kita selalu bersama dengan umur yang
panjang.
Selalu
semangat ya, Mas. Semangat terus dalam bekerja, karena aku akan selalu
menunggumu di rumah dan mendoakan kesuksesan untukmu. Kita bangun bersama rumah
tangga ini, agar kita selalu diselimuti kebahagiaan.
Aku
menyayangimu, Mas. Perasaanku tidak akan pernah berubah, selalu sama seperti
awal kita berpacaran.
Sudah
dulu, ya? Aku mengantuk dan hendak tidur. Ngomong-ngomong, aku menulis ini di
saat kamu sudah tertidur pulas. Lucu sekali wajahmu ketika tidur, tapi begitu
damai melihatmu seperti itu.
Aku
mencintaimu, Raka.
Selamat
tidur.
Raka terisak membaca surat itu, ia menyadari bahwa
cintaku begitu besar untuknya. Ia pun tahu bahwa aku benar-benar menepati
omonganku. Ia berkata kepada ibuku bahwa ia beruntung menikahiku, walaupun aku
harus pergi lebih cepat dari yang ia bisa bayangkan. Raka berjanji bahwa ia
akan selalu menyayangiku seperti aku menyayanginya.
***
“Mas, ikhlaskan kepergianku ya..” aku berbisik ke
telinganya. Raka menoleh ke arahku, tapi tentu saja ia tak tahu keberadaanku.
Ia tak tahu bahwa aku kini duduk di sebelahnya.
“Ana..”
Ia memejamkan mata, terlihat setetes air di sudut
matanya. Ia menangis, tapi aku tahu ia berusaha menahannya.
“Ana, aku menyayangimu. Aku akan selalu menyayangimu.”
Ia berdiri, mengusap wajahnya dengan sapu tangan yang ia
bawa di saku celananya. Ia memandang sekeliling taman itu, ia ingat bahwa taman
itu tempat pertama ia menyatakan cinta kepadaku. Ia melangkahkan kakinya pergi,
ia sudah cukup lama bersedih. Aku dapat mendengar isi hatinya, tentang ia yang
begitu sedih dan lelah tapi ia mau untuk bangkit kembali. Ia terus melangkahkan
kakinya, dan kini ia benar-benar tak lagi berada di taman itu. Untuk pertama
kalinya aku tak lagi mengikuti langkahnya. Aku membiarkannya pulang sendiri karena
aku pun harus pergi. Aku sudah cukup yakin bahwa ia bisa melanjutkan hidupnya
tanpa aku.
Ketika cahaya putih terpancar dari sebuah lubang di
langit, perlahan warnaku memudar. Aku tahu ini sudah waktunya bagiku untuk
benar-benar pergi.
“Aku menyayangimu, Raka. Akan selalu menyayangimu.”
Dan cahaya itu membawaku pergi. Benar-benar pergi.
Comments
Post a Comment