Skip to main content

Hujan Desember


Hujan sore itu tak sedikit. Butiran air yang jatuh tak sendiri di Bulan Desember itu memaksa Ratna lebih berlama lagi menghirup aroma kopi sekaligus meneguknya di sebuah cafe. Kopi itu masih hangat dan sedikit manis berwarna hitam tapi tak terlalu pekat. Ratna melepas kuncir rambutnya dan memasang softlens yang sempat ia lepas. Matanya yang bulat terlihat makin indah dengan bulu mata lentik sebagai penghias. Ratna pun kembali menikmati kopinya.
                Dari arah pintu, tampak seorang laki-laki bertubuh tegap dengan kacamata berbingkai hitamnya. Rambutnya menyentuh kerah, giginya rapi. Ia memakai jaket kulit berwarna cokelat dengan celana jeans berwarna hitam. T-shirtnya berwarna hitam polos, tatapannya lurus ke arah wanita berbaju biru dengan rambut ikal tergerai bebas. Wanita itu juga melihat ke arahnya.
                “Rain..” ucap Ratna lirih nyaris tak terdengar. Mata bulatnya meneduh, menyiratkan begitu banyak kenangan yang terukir.
                Lelaki bernama Rain itu melangkahkan kakinya menuju meja Ratna. Ratna menggigit kedua bibirnya sambil mengalihkan pandangan matanya ke arah cangkir kopi. Rain memberanikan diri membuka mulutnya.
                “Hai, Ratna.”
                Ratna mendongakkan kepalanya. Ia menatap mata cokelat milik Rain. Ratna menyunggingkan senyumannya yang terlihat canggung.
                “Hai. Silahkan duduk.”
                Suara Ratna terdengar bergetar. Memori-memori kenangan bersama Rain muncul dalam otaknya.
                “Hujan di luar deras, ya.” Sahut Rain. Ratna hanya mengangguk sambil melihat ke arah jendela. Ia tak sanggup menatap mata cokelat milik Rain. Jika ia menatap mata itu, kenangan pahit dan yang membuat dunia pelanginya menghitam akan semakin menghantui.
                “Ini, pak, pesanannya.” Kata pelayan cafe itu sambil menaruh secangkir kopi putih dengan kadar manis yang rendah. Pelayan itu pun segera pergi setelah mengetahui kecanggungan di antara Rain dan Ratna.
                Rain memusatkan pandangannya pada Ratna.
                “Sampai kapan kau selalu menghindariku, Ratna?”
                Tak ada jawaban. Ratna masih terpaku dengan rintikan hujan di luar. Degup jantungnya meningkat ketika ia merasakan ada sepasang tangan yang menggenggam jemarinya. Ratna menolehkan wajahnya ke arah jemarinya. Tatapannya menyusuri dari jemari, lalu ke arah wajah lelaki itu.
                “Ratna, sampai kapan kau seperti ini?”
                Ratna memusatkan pandangannya pada bibir merah Rain. Kecupan pertama pada malam terakhir Desember masih terasa hangat di bibirnya. Lima tahun yang lalu, ketika mereka masih menjalin hubungan sehangat pagi di Bekasi.
                “Rain..”
                Akhirnya Ratna membuka mulutnya. Ia segera menarik tangannya dari genggaman tangan Rain.
                “Cukup, Rain. Hubungan kita sudah berakhir.”
                “Tapi hujan belum berakhir, Ratna.”
                Ratna terdiam. Pikirannya beku. Suara derasnya hujan memasuki rongga telinganya. Rain meminum kopi putih yang ia pesan tadi. Seluruh tubuhnya menjadi lebih hangat.
                “Untuk apa kau kembali, Rain?”
                Kini mata Ratna berkaca-kaca dan bibir tipisnya bergetar.
                “Untuk mencintaimu, --”
                “Lalu meninggalkanku lagi,” potong Ratna cepat.
                Rain terdiam. Ia tak pernah benar-benar meninggalkan Ratna. Ia hanya menenangkan diri sejenak setelah kejadian malam itu. Selama lima tahun, yang berarti sudah—sangat—terlalu lama bagi Ratna.
                “Tidak, Ratna.” Rain menekankan perkataannya.
                “Sudah, habiskan kopimu. Lalu segeralah pulang, Rain.” Ucap Ratna dingin. Rain mengunci mulutnya rapat-rapat dan menundukkan pandangannya ke arah secangkir kopi. Ia merasa bersalah, sangat bersalah dan menyesali itu semua.
                “Kau memang seperti hujan. Sama seperti arti namamu. Rain adalah hujan. Ya, kau datang tiba-tiba lalu kau pergi dengan menyisakan bekas yang memabukkan. Ah, luka lebih tepatnya. Luka pada malam Desember itu. Di saat yang sama, di saat hujan deras. Sangat deras, Rain.”
                “...”
                “Cepat habiskan kopimu, Rain.” Ratna mengalihkan pandangannya.
                “Ratna maafkan aku,” suara Rain terdengar lirih dan bergetar.
                “Kau tak mau beranjak dan pulang?”
                Ratna segera beranjak dari kursinya dan menyambar tasnya. Langkahnya dipercepat dan Rain tak sempat menahannya.
                “Kau benar-benar utusan hujan, Rain,” ucap Ratna lirih tak terdengar.
                Di luar, hujan telah berhenti dan menyisakan bau hujan yang memabukkan. Tetesan hujan telah jatuh dari daun-daun yang basah.
                

Comments

Popular posts from this blog

Bentuk Bahagia

  Gue sedang berada di sebuah coffee shop berlokasi di dekat rumah gue. Gue terbilang sering ke tempat ini entah hanya untuk bertemu dan ngobrol dengan teman-teman gue atau numpang buka laptop. Sore ini, gue berniat melamar pekerjaan ke beberapa perusahaan, jadi gue membawa laptop. Nggak lupa gue juga hubungin teman-teman gue via whatsapp siapa tahu mereka ingin bergabung. Biasanya kalau sudah agak malam baru kita ngobrol-ngobrol. Sambil membuka tab job portal , gue juga sambil iseng buka quora sekedar cari insight , atau menikmati tulisan-tulisan dari banyak orang. Lalu ada satu pertanyaan yang telah dijawab oleh quoranian yang membuat gue akhirnya menulis ini, yaitu tentang bagaimana laki-laki bisa bucin terhadap pasangannya. Kata kunci, bucin. Iya, bucin. Dengan melihat kata bucin, gue langsung teringat diri gue yang memang tergolong bucin ketika menjalin sebuah hubungan dengan seseorang. Karena prinsip gue ketika mencintai seseorang, gue akan memberi seluruh hati gue, diri...

Aku yang Berbahagia

Sudah masuk waktu Subuh ketika aku menulis ini dan sudah terlipat rapi juga sajadah tempat ku bersujud tadi. Senyum sedikit terukir di bibirku, mataku menyipit. Di akhir doaku, baru kali ini aku tersenyum. Entah, apa itu senyum kelegaan atau senyum yang dipaksakan. Akhir-akhir ini aku sering berpikir seberapa berartinya seorang aku. Aku mulai menghitung-hitung sudah berapa lama waktu yang aku habiskan untuk bersedih, mengurung diri di rumah, menangis, bahkan berhenti melakukan kegiatan yang aku suka. Aku sadar bahwa aku menyia-nyiakan hariku, lalu aku melupakan hal-hal positif yang selama ini telah tertanam dalam otakku. Udara pagi hari tak pernah sesejuk ini. Ah, mungkin perasaanku saja yang tengah membaik. Udara pagi memang selalu sejuk, bahkan dari pertama kali aku lahir ke dunia ini. Mengingat kelahiranku, aku makin berpikir mengenai kesedihan yang berlarut-larut menghinggapi hatiku. Aku lahir di dunia ini membawa kebahagiaan untuk kedua orang tuaku. Ada harapan begitu...

Kepergianku Untuknya (fiksi)

Pagi ini cuaca sedikit berangin. Aku masih tetap menatap laki-laki berkaos abu-abu yang tengah duduk di bangku taman. Suasana hatinya tetap sama selama ini, mungkin karena ia belum menerima kepergianku. Bagaimana bisa aku benar-benar pergi bila ada yang belum mengikhlaskan kepergianku, ditambah lagi laki-laki itu seperti tak memiliki semangat hidup lagi.             Namanya Raka, ia suamiku. Lima bulan setelah pernikahan kami, aku mengalami kecelakaan. Mobil yang kukendarai menabrak sebuah truk yang melaju kencang dari arah barat, dan belakangan kuketahui bahwa sopir yang mengendarai truk itu dalam keadaan mabuk. Aku melihat mobilku dikerumuni banyak orang, kemudian mereka mengangkat tubuhku keluar. Saat itu aku sadar bahwa aku mungkin telah pergi. Aku ingin menangis saat melihat Raka mengguncang tubuhku agar aku bangun. Tapi tubuhku enggan merespon guncangan itu. Darah terus mengalir dari kepalaku, kemudian disusul oleh darah ya...