Skip to main content

(Fiksi) Kisah Cinta


Gue udah gede sekarang. Eh, badan doang ding yang gede, pikiran belum.
            “EMANGNYA PIKIRAN BISA GEDE, DYK?”
Enggak, bukan gede. Tapi dewasa! Ya maaf, sih, namanya juga manusia. Kadang salah, kadang ngotot nggak salah. Udah, lanjut lagi ya.
Dewasa itu kayak gimana, sih? Yang udah kenal sama cinta, gitu? Gue udah kenal sama Cinta, orang sekelas. Berarti gue udah dewasa ya?
            “BUKAN CINTA YANG ITU, WEY!”
Iya, oke. Bukan Cinta yang ada di kelas gue. Bukan juga Cinta anaknya Uya Kuya, apa lagi Cinta bini-nya Bang Somad. Ini cinta, jatuh cinta. Yang bikin love-love di udara itu, loh! Yang bikin nggak tidur semalaman karena mikirin dia, yang bikin kupu-kupu nempel di perut. Yang bikin jatung deg-deg-an secara maksimal. Jedag-jedug-jedag-jedug, duar. Mati.
Ngomong-ngomong soal jatuh cinta nih, ya, gue pernah ngalamin yang namanya jatuh cinta. Oh, bukan! Bukan jatuh di atasnya Cinta! Jatuh cinta yang gue alamin agak pahit, agak kelam, tapi ada manisnya kok. *EAAA*

Jadi gini, sob…..
Gue kenal sama seorang cowok. Cakep, dah! Rambutnya disisir rapi dengan poni nyamping ke kanan dan klimis. Dia pakai kacamata berbingkai tebal, hidungnya mancung, bibirnya tipis. Lo pasti nggak percaya bisa-bisanya gue bilang cowok tipe kayak dia itu cakep. Tapi beneran, cakep! Dia cakep dengan caranya sendiri, sob. Namanya juga jatuh cinta, nggak mandang itu siapa, di mana, dan apa statusnya.
Dia ini selalu senyum tiap gue sapa. Gue dadahin, dia dadah balik. Gue telponin, dia telpon balik. Gue sms-in, dia sms balik. Gue jajanin, dia jajanin balik. Gue sukain, dia nggak sukain balik. IYA, SOB! DIA NGGAK ADA RASA SAMA GUE, SOB!
Gue tau dari temannya kalau dia lagi suka sama cewek yang namanya Siska. Nama panjangnya Siskamling. Siska yang gue tau sih badannya tinggi, rambutnya lurus dan panjang selantai. Eh, enggak, cuma sepunggung. Badannya kurus kayak gagang sapu, pipinya tirus. Cantik sih, cantik. Cuma ya gitu, dia kadang suka kentut sembarangan.
Semenjak Raffi—oke nama doi, Raffi—suka sama Siska, dia jadi jarang jajanin gue, sob. Sekalinya jajajnin gue ya cuma gopek. Itu, tic-tac satu bungkus doang! Nggak apa-apa, deh, yang penting judulnya ‘di-ja-ja-nin’, hehe. Raffi ini ngikutin Siska ke mana-mana, bahkan sampai ke toilet. Terakhir gue lihat dia penuh luka setelah keluar dari toilet wanita.
Gue ingat banget waktu pelajaran olahraga, kepala gue kena bola basket. Gue pura-pura pingsan biar Raffi merhatiin gue, gendong ke uks kalau perlu. Eh, nggak taunya, si Siska kepeleset saat itu juga. Raffi langsung lari ke arah Siska dan ngebawa dia ke uks. APA BANGET! Cuma kepeleset! Dan yang lebih ngenes lagi, gue diangkat, dibawa ke uks sama Pak Bambang. Guru olahraga yang nggak banget menurut gue. Gue aja heran, biasanya guru olahraga kan cakep. Lah ini, kok……
            “JELEEEEEEK….”
Bukan gue ya, yang ngomong. Seriusan, bukan gue.
Dalam hati gue berteriak, “RAFFIIIII, RAFFIIII KENAPA LO MALAH KE SISKA? KENAPA NGGAK KE GUE AJA?” tiba-tiba, gue nangis.
            “kenapa, Dyk?”
Pak Bambang mijitin kepala gue, sob! Astagaaa, kenapa nggak Raffi aja? Seketika itu, rasanya gue pengin loncat, trus lari-lari kijang menghindari Pak Bambang. Akhirnya, gue terpaksa bangun dan mengakhiri acting gue. Dan yak! Gue langsung lari meninggalkan Pak Bambang yang memasang wajah heran, kayak kijang kehilangan tanduknya.
Gue lari, gue lari, terus berlari…..
Dan gue nabrak. Anjis, ini ftv abis. Gue nabrak doi, sob. Gue-nabrak-doi. Raffi langsung nunduk ke arah gue, gue mendongak ke arah Raffi. Seketika waktu berhenti, saat dia mengulurkan tangannya buat bantu gue berdiri. Gue goblok di situ, gue diam. Gue pongo. Gue mangap. Di saat gue mau menyambut tangannya, bel istirahat bunyi. Otomatis, anak-anak pada keluar. Ya udah, gue keinjek-injek. Gue gepeng, gue kehabisan napas dan semuanya gelap.
            *TRING..*
Gue bangun. Gue ngerasa silau banget. Ternyata gue lagi di lapangan parkir sama Raffi. Dia bilang dia yang bawa gue ke sini. GILA, LOPE LOPE TERBANG DI UDARA, SOB!!! Seneng banget! Gembiraaa! Aku adalah anak gembira selalu riang….
            “ITU GEMBALA!”
Oke, oke, maaf.
Gue dikasih air minum sama dia, dikasih tic-tac juga. Iya, gue emang doyan tic-tac—semenjak dia jajanin gue itu-itu doang.
Gue minum pelan-pelan, jaimlah biasa. Gue makan tic-tacnya, laper banget. Gue baru tau kalau gue pingsan sampai jam pulang. Beruntung banget, HAHAHAHA. Tiba-tiba, Raffi megang tangan gue,
            “Dyk..”
            “Iya?”
            “Hmm….”
FYI, gue di situ deg-deg-an banget. Pikiran gue ke mana-mana, gue udah ngarep pasti bakalan ditembak.
            “Apa, sih?”
            “Ehm.. eh..”
            “Kenapa? Bilang aja, Raff.”
            “Gue…”
            “Ya?” gue keringat dingin,
            “Gue… kentut, Dyk. Hehe, nggak bau kan? Sori, ya.” Dia mengusap tangan gue.
ANJIS gue kira apaan! Gue kira dia mau nembak gue dan ngelupain si Siskamling itu. Gue kira dia bakal suka balik sama gue. Yah ilah, kentut ternyata.
            “Nggak, kok. Nggak bau sama sekali.”
            “Eh, Dyk.” Kali ini dia beneran megang tangan gue.
            “Apa lagi?” gue mendengus.
            “Sebenernya bukan itu yang pengin gue omongin,”
            “Oh..” gue mulai cuek tuh di situ.
            “Gue tau lo suka sama gue, Dyk.”
JEGER! DUAR! DUMMMM!
Mulut gue nganga selebar-lebarnya. Hidung gue kembang kempis. Mata gue merem melek. ANJIS, ANJIS, dia bilang gitu, sob!
            “Tau dari siapa?”
            “Dari Siska.”
            “Loh?”
            “Iya, dia bilang sama gue. Tapi gue nggak bisa langsung percaya gitu aja.”
Gue mulai keringat dingin. Saking banyaknya keringat yang keluar, kerudung gue sampai lepek. Gue nggak ngerti kenapa. Untung ketek gue nggak basah. Gue tercenung, gue diam, gue membisu.
            “Dyk? Bener nggak itu?” tiba-tiba doi menepuk pundak gue.
            “Hah? Enggak kok. Bohong, tuh, si Siskamling.” Gue menggeleng cepat.
            “Oh, ya udah bagus deh. Jadi kan gue bisa tetep nyaman sahabatan sama lo,” Raffi nyengir kuda. Gue tersenyum kecut. Sekecut keringatv Raffi. Di sisi lain, gue udah lega banget. Walaupun lagi-lagi gue ngorbanin perasaan gue. Tapi tenang, wanita pandai menyembunyikan perasaan mereka. Dan laki-laki juga terlalu bodoh untuk percaya pada semua kata-kata wanita.
            “Raff, ayo pulang!” gue menarik tangan Raffi.
            “Tapi gue mau bareng Siska,” gue diam.
            “Eh, sama lo aja deh.” Raffi senyum. GUE NYENGIR. Gila, senang banget! Di situ, gue joget-joget india, gue tari perut, gue melet-melet, yah pokoknya gitu. Raffi ketawa, gue makin bahagia, sob!!!! Setelah adegan memalukan itu, gue pun pulang.
Dari pengalaman-pengalaman yang gue dapat, gue mendapatkan hikmah. Hikmah-suka-sama-cowok-nggak-cakep-samasekali. Ternyata nggak hanya cowok ganteng aja yang rese, tapi cowok jelek juga. Gue nggak ngerti sama mereka, bisa-bisanya gitu. Sebagai cewek, gue merasa gagal. Segagal gue memikat hati Raffi. Jadi sekarang yang gagal siapa, sih? Gue atau cowok-cowok jelek itu?
            “YANG SALAH GUE DYK! GUE! GUE SALAH NGIZININ LO CURHAT!”
Oke, lo yang salah. Pasal satu, gue selalu benar. Pasal dua, kalau gue salah, kembali ke pasal satu. Jadi gimana? Deal kan?
Ya udah, gue tau lo udah bosan baca ginian. Gue juga udah bosan nulis ginian. Mellow kayak cewek lagi galau sambil makan marshmallow. Gue di sini—serius—nggak ada unsure curhat sama sekali. Gue hanya menulis, membuang, memindahkan, copy-paste pemikiran gue yang—you know—amburadul banget.

Udah, ya, si cantik istirahat dulu. Kalau kangen, silahkan angkat ketek anda, lalu cium tiga kali. Maka gue nggak akan datang. Bila anda lapar, hubungi 14045,I’m lovin it.
Babaaaaaay~

Comments

Popular posts from this blog

Bentuk Bahagia

  Gue sedang berada di sebuah coffee shop berlokasi di dekat rumah gue. Gue terbilang sering ke tempat ini entah hanya untuk bertemu dan ngobrol dengan teman-teman gue atau numpang buka laptop. Sore ini, gue berniat melamar pekerjaan ke beberapa perusahaan, jadi gue membawa laptop. Nggak lupa gue juga hubungin teman-teman gue via whatsapp siapa tahu mereka ingin bergabung. Biasanya kalau sudah agak malam baru kita ngobrol-ngobrol. Sambil membuka tab job portal , gue juga sambil iseng buka quora sekedar cari insight , atau menikmati tulisan-tulisan dari banyak orang. Lalu ada satu pertanyaan yang telah dijawab oleh quoranian yang membuat gue akhirnya menulis ini, yaitu tentang bagaimana laki-laki bisa bucin terhadap pasangannya. Kata kunci, bucin. Iya, bucin. Dengan melihat kata bucin, gue langsung teringat diri gue yang memang tergolong bucin ketika menjalin sebuah hubungan dengan seseorang. Karena prinsip gue ketika mencintai seseorang, gue akan memberi seluruh hati gue, diri...

Aku yang Berbahagia

Sudah masuk waktu Subuh ketika aku menulis ini dan sudah terlipat rapi juga sajadah tempat ku bersujud tadi. Senyum sedikit terukir di bibirku, mataku menyipit. Di akhir doaku, baru kali ini aku tersenyum. Entah, apa itu senyum kelegaan atau senyum yang dipaksakan. Akhir-akhir ini aku sering berpikir seberapa berartinya seorang aku. Aku mulai menghitung-hitung sudah berapa lama waktu yang aku habiskan untuk bersedih, mengurung diri di rumah, menangis, bahkan berhenti melakukan kegiatan yang aku suka. Aku sadar bahwa aku menyia-nyiakan hariku, lalu aku melupakan hal-hal positif yang selama ini telah tertanam dalam otakku. Udara pagi hari tak pernah sesejuk ini. Ah, mungkin perasaanku saja yang tengah membaik. Udara pagi memang selalu sejuk, bahkan dari pertama kali aku lahir ke dunia ini. Mengingat kelahiranku, aku makin berpikir mengenai kesedihan yang berlarut-larut menghinggapi hatiku. Aku lahir di dunia ini membawa kebahagiaan untuk kedua orang tuaku. Ada harapan begitu...

Kepergianku Untuknya (fiksi)

Pagi ini cuaca sedikit berangin. Aku masih tetap menatap laki-laki berkaos abu-abu yang tengah duduk di bangku taman. Suasana hatinya tetap sama selama ini, mungkin karena ia belum menerima kepergianku. Bagaimana bisa aku benar-benar pergi bila ada yang belum mengikhlaskan kepergianku, ditambah lagi laki-laki itu seperti tak memiliki semangat hidup lagi.             Namanya Raka, ia suamiku. Lima bulan setelah pernikahan kami, aku mengalami kecelakaan. Mobil yang kukendarai menabrak sebuah truk yang melaju kencang dari arah barat, dan belakangan kuketahui bahwa sopir yang mengendarai truk itu dalam keadaan mabuk. Aku melihat mobilku dikerumuni banyak orang, kemudian mereka mengangkat tubuhku keluar. Saat itu aku sadar bahwa aku mungkin telah pergi. Aku ingin menangis saat melihat Raka mengguncang tubuhku agar aku bangun. Tapi tubuhku enggan merespon guncangan itu. Darah terus mengalir dari kepalaku, kemudian disusul oleh darah ya...