Hari ini cukup
melelahkan. Mulai dari bangun kesiangan, tidak sempat sarapan dan hanya membeli
kopi sachet di warung depan rumah kemudian menyeduhnya di kantor. Pekerjaan pun
menumpuk dan aku sedikit menyesali mengapa dua hari lalu aku membiarkannya
tergeletak di atas meja. Belum lagi Bosku yang sepertinya sedang datang bulan,
dari awal ia menginjakkan kaki di kantor, mulutnya tak pernah berhenti meneriaki
karyawannya. Bahkan office boy yang sedang
menyapu lantai dengan damainya pun terkena semburan amarahnya. Setelah
menyelesaikan pekerjaan, aku memutuskan untuk pulang dengan taksi online.
Kini sudah pukul
sepuluh malam, dan badanku terasa sangat pegal. Aku berbaring di atas ranjang yang
cukup untuk ditiduri tiga orang, dengan sprei berwarna putih.
“Kamu capek banget, ya?”
tanya seorang laki-laki yang sudah lebih dahulu mengisi ranjang ini.
“Iya, Mas. Hari ini
kerjaan kantorku banyak, bos juga ngomel-ngomel terus.”
Laki-laki dengan aroma
cendana di sampingku membalikkan badannya, menghadap ke arahku yang tengah menatap
langit-langit. Ia mengusap puncak kepalaku perlahan, menelusuri rambut
panjangku dengan jemarinya.
“Terus, mau aku pijitin
nggak?” bisiknya di telingaku.
Aku mengangguk cepat
dan segera duduk membelakanginya. Laki-laki itu pun ikut duduk kemudian
beranjak dari kasur. Ia berjalan pelan ke arah meja rias, kemudian mengambil olive oil yang tak pernah berpindah
tempat.
“Aduh!” Laki-laki yang
sekarang adalah suamiku itu rupanya menginjak sisirku yang entah bagaimana bisa
berada di lantai kamarku—kamar kami.
“Hati-hati dong, Mas.
Semangat banget mau mijitin aku. Hahahaha”
Ia pun ikut tertawa dan
deretan giginya yang rapih pun terlihat. Sungguh, melihatnya tertawa sudah
cukup menghilangkan rasa lelahku.
Suamiku duduk di
sampingku, menuangkan sedikit olive oil
ke kedua telapak tangannya. Sebelum memijat, ia menyempatkan untuk mencium
pundakku.
“Jangan kegelian ya
kamu, jangan gerak-gerak.” Ia mengingatkan sambil mulai memijat bagian
pundakku. Aku yang memang tidak bisa menahan geli spontan menggerakkan pundakku
sambil tertawa.
“Ahahahaha aduh geli!”
“Kamu ini kenapa sih
geliannya nggak hilang-hilang?”
“Lho nggak tau, Mas.
Keturunan Bapakku nih.”
“Halah, bawa-bawa
Bapakmu. Udah, tahan sebentar lagi ya.” Dan suamiku melanjutkan pijatannya.
Di sela ia memijat
pundakku yang sudah tidak terlalu pegal, aku menyentuh tangannya yang masih
berada di pundakku.
“Mas..”
Ia berhenti memijat.
“Iya?”
Aku menghadap ke
arahnya sambil tetap memegang tangannya. Aku dapat melihat sorot mata teduhnya
dengan jelas.
“Makasih ya, Mas.
Makasih karena kamu selalu ada buatku.”
Laki-laki yang sudah
dua tahun kunikahi itu tersenyum. Ia berdiri dan mengambil tisu di atas meja
kecil, kemudian membersihkan telapak tangannya. Setelah itu, ia kembali duduk
di sampingku.
“Justru aku yang
berterima kasih sama kamu karena selalu menerimaku, bagaimanapun keadaanku.”
Ia menarik napas dan
menghembuskannya perlahan, kemudian padangannya lurus ke depan. Entah apa yang
tengah ia pikirkan.
“Sudah tidak pegal kan?
Yuk, kita istirahat.”
Ia berpindah ke sisi
ranjang dekat jendela dengan perlahan. Aku merapihkan bantalku dan tidur di
sampingnya.
“Mas, geser ke sini
tidurnya. Jangan jauh-jauh,” pintaku.
Ia menggeser tubuhnya,
kemudian mengubah posisinya menghadapku. Ia mengusap lembut dahiku, kebiasaan
yang tak pernah berubah sejak dulu.
“Sudah mau tidur?”
tanyanya dengan lembut.
“Mau. Eh tapi aku haus
Mas. Mau minum dulu.”
Aku melihatnya membuka
selimut kembali, hendak mengambilkanku minum.
“Nggak usah, Mas. Biar
aku aja ya..”
Aku turun dari ranjang
dan mengambil gelas di meja kecil di sudut ruang kamar. Biasanya memang aku
selalu minum sebelum tidur, dan suamiku selalu mengambilkannya untukku.
Aku kembali ke ranjang
tidurku, dan kini aku menghadap suamiku.
“Sudah mau tidur?”
tanyanya sekali lagi.
“Sudah, Mas.”
“Lampunya sudah mati?”
“Sudah sedari tadi Mas
selesai mijitin aku..” jawabku sambil mengusap lengan kokohnya. Suamiku hanya
mengangguk kecil kemudian memejamkan matanya.
“Maaf, aku nggak tahu.”
“Nggak apa-apa, Mas.
Sekarang tidur, ya? Selamat malam.”
Aku merapihkan
selimutnya disusul dengan mencium pipinya. Untuk beberapa lama aku memandangi
wajah laki-laki di hadapanku ini. Suamiku memiliki alis yang tebal dengan bulu
mata panjang menghiasi mata indahnya. Aku menyentuh bibirnya yang menggunung,
merasa bersyukur bisa melihat bibir itu menyunggingkan sebuah senyuman setiap
pagi aku membuka mata. Sejak awal menikah, setelah aku pulang kerja dan merasa
lelah, ia tak pernah absen memijat pundakku. Setelah itu kami selalu bergantian
memijat. Setiap malam selalu terisi dengan cerita tentang apapun yang telah
kami lewati hari itu, kemudian kami juga tak pernah lupa menertawakan masalah
yang ada. Aku akan membaringkan kepalaku di atas dadanya, bercerita tentang
nenek di sebelah rumah yang ditinggal cucu-cucunya, atau membuat daftar tempat
yang ingin kukunjungi bersamanya. Dan aku membiarkan ia memainkan rambutku
sampai aku merasa kantuk mulai datang. Entah mengapa rasa hausku selalu muncul
di setiap aku hendak memejamkan mataku. Lagi-lagi, suamiku lah yang selalu
mengambilkan minum untukku dan setelah itu, ia selalu mematikan lampu. Rutinitas
itu selalu terjadi setiap hari, hingga suatu malam. Ketika itu suamiku tengah
mengendarai mobilnya seusai pulang kerja, lalu sebuah truk dengan kecepatan
tinggi menabrak suamiku dari arah berlawanan. Karena itu, ia harus merelakan
kedua matanya kehilangan fungsinya dan aku tahu ia benar-benar terpukul. Sejak
malam itu, aku berjanji untuk selalu berada di sampingnya, bagaimanapun
keadaannya. Aku berjanji untuk selalu menerima kelebihan dan kekurangannya,
seperti apa yang selalu ia lakukan terhadapku.
Kecelakaan satu tahun
lalu memang merenggut penglihatannya, namun kecelakaan itu tak bisa mengambil
rasa cinta dan kasihku kepadanya. Kecelakaan itu tak bisa mengambil rasa cintaku
terhadap ketidaksempurnaannya.
Comments
Post a Comment