Skip to main content

Ketika Aku Mencintai Seseorang Nanti


Ketika aku mencintai seseorang nanti, mungkin saja dia adalah laki-laki yang belum sama langkahnya denganku, mungkin saja dia masih satu langkah di belakangku. Aku tidak mengatakan ia tertinggal, ia hanya belum mengalami apa yang sudah kualami. Bukannya kita selalu begitu? Selalu ada satu orang atau bahkan lebih yang berada beberapa langkah di depan kita perihal pengalaman dalam hidup. Dan bila itu terjadi padaku, aku akan benar-benar meraih tangannya. Aku tidak membiarkannya sendiri mengejarku, mengejar pencapaianku. Mungkin aku takkan banyak berbicara kepadanya mengenai ini, aku hanya terus membawanya, mengajarinya banyak hal, memperkenalkannya dengan sesuatu yang baru.


Mari kita mulai dengan yang sederhana.


Mungkin seseorang yang aku cintai nanti hanya pernah makan di restoran cepat saji dan ketika aku mengajaknya makan di sebuah restoran yang jauh lebih mewah, aku tidak akan membiarkannya kebingungan membaca menu berbahasa asing—yang walaupun dia tahu artinya—dan menerka-nerka bagaimana rasa dari tiap sajian tersebut. Tentu aku akan sedikit menjelaskan menu yang sekiranya kutahu, lalu menebak bersama bagaimana rasa dari menu yang benar-benar ‘asing’ untuk kami. Jika ia kesusahan melafalkan menu tersebut, dengan senang hati akan kubacakan untuknya dan kubiarkan ia yang memesan menu tersebut kepada pelayan.


Mungkin seseorang yang aku cintai nanti hanya pernah berbelanja di mall sederhana dekat rumah dan ketika aku mengajaknya mencoba mall yang jauh lebih baik, aku tidak akan membiarkannya kebingungan memilih di mana ia akan membeli keperluannya. Aku akan bertanya, “kamu mau nyari apa?” kemudian memberinya rekomendasi tenant sesuai kebutuhannya dan menjelaskan alasan kenapa tenant-tenant lain tidak kurekomendasikan. Aku akan tertawa bersamanya karena ia baru mengetahui bahwa ada petugas di dalam lift yang membantu menekan tombol ke lantai yang akan kami tuju.


Mungkin seseorang yang aku cintai nanti hanya pernah berlibur naik kereta dan ketika aku mengajaknya berlibur naik pesawat, aku tidak akan membiarkannya kebingungan harus melakukan apa setelah berada di bandara. Aku akan memberitahunya hal paling sederhana seperti check in sebelum keberangkatan, atau akan lari bersamanya secepat mungkin karena telah mendengar last call. Aku akan menenangkannya ketika ia berkeringat karena takut ketinggian dan mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja sambil menyarankannya melihat ke luar, di mana ia bisa melihat keindahan kota dari atas awan.


Mungkin seseorang yang aku cintai nanti hanya bisa berbahasa Indonesia dan ketika ia ingin belajar bahasa lain, aku akan dengan semangat mengajarinya, atau belajar bersamanya. Aku akan mengajaknya meminjam buku berbahasa asing, kemudian berlomba menerjemahkan tiap halamannya. Aku akan menonton film tanpa subtitle bersamanya, kemudian menertawakan tiap dialog baru yang kami buat asal-asalan karena terlalu lelah mengartikan obrolan-obrolan di dalam film tersebut.


Mungkin seseorang yang aku cintai nanti memiliki hati yang dermawan dan ketika ia ingin berbagi ke orang-orang yang membutuhkan, aku akan memberi saran berupa nama-nama tempat yang butuh bantuan. Aku akan membantunya mempersiapkan banyak hal. Dan jika itu kali pertama baginya, aku akan memintanya untuk terus melakukan kebaikan tersebut.


Mungkin seseorang yang aku cintai nanti tidak terlalu paham dengan teknologi dan ketika ia mengakui itu, aku tak akan merendahkannya. Aku akan meminjamkan buku-buku bacaan kepadanya, membiarkan ia memuaskan rasa keingintahuannya. Aku akan tertawa bersamanya ketika ia mengatakan, “Oh gini, ya, cara pakainya? Sumpah, aku baru tahu.” Aku akan terus bertanya padanya, mengulas apa-apa yang telah ia pelajari sebelumnya.


Aku akan menerima kalimat “sebenarnya aku belum paham tentang ini,” darinya. Aku memang ingin bersama seseorang yang serba tahu, yang serba lebih maju dariku. Tapi ketika aku mencintai seseorang yang belum serba tahu, belum lebih maju dariku, aku akan menerimanya. Aku akan menerima kemauannya untuk belajar, kemauannya untuk mencoba hal-hal baru, kemauannya untuk paham akan hal-hal lain di luar zona nyamannya. Aku tidak membiarkannya sendiri, walaupun tentu ia bisa. Aku ingin menemaninya melewati semua walaupun ia tidak meminta. Aku ingin kami belajar bersama, bertukar cerita tentang hal baru apa yang telah kami coba. Setiap malam akan selalu ada cerita, akan selalu ada progress.


Aku tidak memaksanya melakukan hal-hal yang tak ia suka. Bila ia mencobanya sekali dan ia tak ingin melakukannya lagi karena itu bukanlah dirinya, tak akan menjadi masalah untukku. Aku hanya ingin ia tahu hal-hal baru, bahwa hidup tak melulu tentang itu-itu saja. Aku hanya ingin ia tahu, bahwa aku ingin melangkah bersamanya. 


Dan menurutku, perempuan yang berusia dua puluh tahun ini, cinta itu mau mengajari dan menemani, bukan membiarkannya mengejar sendiri kemudian meninggalkannya pergi. Kamu boleh setuju ataupun tidak. Tiap kepala memiliki pemikiran berbeda, bukan?

*Oh iya, pencapaian dan pengalaman di dalam hidup masih sangat banyak. Paragraf di atas hanya sebagian kecil dari pengalaman sederhana, agar pesan yang kumaksud bisa dengan mudah sampai ke pembaca.

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Bentuk Bahagia

  Gue sedang berada di sebuah coffee shop berlokasi di dekat rumah gue. Gue terbilang sering ke tempat ini entah hanya untuk bertemu dan ngobrol dengan teman-teman gue atau numpang buka laptop. Sore ini, gue berniat melamar pekerjaan ke beberapa perusahaan, jadi gue membawa laptop. Nggak lupa gue juga hubungin teman-teman gue via whatsapp siapa tahu mereka ingin bergabung. Biasanya kalau sudah agak malam baru kita ngobrol-ngobrol. Sambil membuka tab job portal , gue juga sambil iseng buka quora sekedar cari insight , atau menikmati tulisan-tulisan dari banyak orang. Lalu ada satu pertanyaan yang telah dijawab oleh quoranian yang membuat gue akhirnya menulis ini, yaitu tentang bagaimana laki-laki bisa bucin terhadap pasangannya. Kata kunci, bucin. Iya, bucin. Dengan melihat kata bucin, gue langsung teringat diri gue yang memang tergolong bucin ketika menjalin sebuah hubungan dengan seseorang. Karena prinsip gue ketika mencintai seseorang, gue akan memberi seluruh hati gue, diri...

Aku yang Berbahagia

Sudah masuk waktu Subuh ketika aku menulis ini dan sudah terlipat rapi juga sajadah tempat ku bersujud tadi. Senyum sedikit terukir di bibirku, mataku menyipit. Di akhir doaku, baru kali ini aku tersenyum. Entah, apa itu senyum kelegaan atau senyum yang dipaksakan. Akhir-akhir ini aku sering berpikir seberapa berartinya seorang aku. Aku mulai menghitung-hitung sudah berapa lama waktu yang aku habiskan untuk bersedih, mengurung diri di rumah, menangis, bahkan berhenti melakukan kegiatan yang aku suka. Aku sadar bahwa aku menyia-nyiakan hariku, lalu aku melupakan hal-hal positif yang selama ini telah tertanam dalam otakku. Udara pagi hari tak pernah sesejuk ini. Ah, mungkin perasaanku saja yang tengah membaik. Udara pagi memang selalu sejuk, bahkan dari pertama kali aku lahir ke dunia ini. Mengingat kelahiranku, aku makin berpikir mengenai kesedihan yang berlarut-larut menghinggapi hatiku. Aku lahir di dunia ini membawa kebahagiaan untuk kedua orang tuaku. Ada harapan begitu...

Kepergianku Untuknya (fiksi)

Pagi ini cuaca sedikit berangin. Aku masih tetap menatap laki-laki berkaos abu-abu yang tengah duduk di bangku taman. Suasana hatinya tetap sama selama ini, mungkin karena ia belum menerima kepergianku. Bagaimana bisa aku benar-benar pergi bila ada yang belum mengikhlaskan kepergianku, ditambah lagi laki-laki itu seperti tak memiliki semangat hidup lagi.             Namanya Raka, ia suamiku. Lima bulan setelah pernikahan kami, aku mengalami kecelakaan. Mobil yang kukendarai menabrak sebuah truk yang melaju kencang dari arah barat, dan belakangan kuketahui bahwa sopir yang mengendarai truk itu dalam keadaan mabuk. Aku melihat mobilku dikerumuni banyak orang, kemudian mereka mengangkat tubuhku keluar. Saat itu aku sadar bahwa aku mungkin telah pergi. Aku ingin menangis saat melihat Raka mengguncang tubuhku agar aku bangun. Tapi tubuhku enggan merespon guncangan itu. Darah terus mengalir dari kepalaku, kemudian disusul oleh darah ya...