Skip to main content

Tak Tergenggam Lagi (fiksi)

Pagi itu cukup dingin ketika Salma meletakkan handphone-nya sembari menghirup aroma susu coklat hangat di tangannya. Pagi yang indah untuk mengawali hari Minggu. Ia memandang ke arah cermin seraya bangkit dari tempat tidurnya dan berjalan ke arah meja rias untuk menyisir rambut. Tiba-tiba handphone-nya bergetar, tertulis nama seseorang di sana. Dengan sigap gadis berusia delapan belas tahun itu membuka pesannya, dan terpampang jelas nama seseorang yang tak asing baginya. Nama dia. Nama seorang laki-laki yang beberapa minggu lalu sempat mengisi hari-hari gadis lugu itu. Nafasnya tertahan, degup jantungnya bertambah cepat hingga ia bisa merasakannya sendiri. Semua masih begitu jelas dalam ingatannya.
            “Ma, ini gue mau balikin buku kimia yang gue pinjem. Lo ada waktu nggak sore ini?”
            Salma membaca pesan itu dengan bibir bergetar. Matanya berkaca-kaca hingga pandangannya buram. Dengan gemetar ia membalas pesan laki-laki itu.
            “Iya, aku free sore ini.”
            “Oke, nanti gue ke rumah lo, ya. Jam 5. See you!”
            Salma tak membalas pesan terakhir laki-laki itu. Pikirannya sibuk menerka-nerka apa yang akan terjadi selanjutnya. Apakah sore nanti akan berakhir dengan air matanya lagi? Sama seperti sore terakhir mereka bertemu dengan keadaan Salma memohon-mohon pada laki-laki itu untuk tetap berada di sisinya. Pesan singkat yang baru ia baca adalah pesan singkat pertama setelah dua minggu mereka berhenti chatting, berhenti bertegur sapa. Bukan, bukan Salma yang menginginkan semuanya, melainkan laki-laki itu yang telah membuat keputusan untuk menjauhi Salma.
            Hari berjalan begitu cepat, ketika jarum pendek mengarah ke angka empat. Salma memandangi dirinya di depan cermin besar berwarna biru. Sudah lebih dari setengah jam ia berdiri di sana memastikan tak ada cela dalam dirinya.
            “Sebentar lagi Evan dateng, ya..”
            *TIN-TIN*
            Salma menoleh dengan cepat dan secepat kilat berlari ke arah pintu rumahnya. Ya, laki-laki itu telah berdiri di depan pagar rumahnya. Ia pun membuka pintu untuk Evan.
            “Hai, Ma!” sapa Evan sedikit canggung.
            “H.. Hai, van,” balas Salma kikuk.
            “Hmm, nih, gue cuman mau balikin buku lo aja. Sorry ya gue lama ngembaliinnya.”
            “Iya, nggak apa-apa, Van. Mau masuk dulu?”
            “Nggak usah, Ma. Gue mau langsung pulang,” jawab Evan seraya memakai sepatunya kembali.
            Salma menggigit bibirnya pelan, ia menggenggam tangannya sendiri.
            “Van,” panggil Salma pelan.
            “Apa, Ma?”
            “Kamu kenapa ngejauhin aku?”
            “Ngejauhin apa?”
            “Ya... ini. Kamu ngejauhin aku. Udah nggak kayak dulu aja.”
            “Nggak, Ma..”
            “Nggak apa? Kamu kenapa?” Salma mulai mendesak.
            “Gue nggak apa-apa, Ma. Udah, ya, gue balik dulu.”
            “Evan, tunggu. Aku belum selesai ngomong! Kamu tuh kenapa? Kamu ngejauh total dari aku, Van! Dulu kita sering chatting, dulu kamu nemenin aku terus, dulu kamu nyapa aku terus tiap ketemu, dulu kita deket banget. Terus kenapa sekarang kayak gini, Van? Kenapa sekarang malah kamu kayak nggak kenal aku? Malah kamu udah nggak pernah nyapa aku lagi. Kamu kenapa?” suara Salma terdengar bergetar.
            “Gue nggak apa-apa, Ma.”
            “Demi apa?”
            “Demi apa? Apa, sih? Demi apa, apanya?”
            “Ya demi apa kamu nggak apa-apa?”
            “Udah, Ma. Gue mau balik,” Evan memaksa untuk pulang. Ia membalikkan badan, namun Salma menggenggam pergelangan tangan Evan erat.
            “Evan, kamu kenapa...” Salma mulai menangis.
            “Salma, jangan nangis. Jangan nangis.”
            “Kamu, tuh kenapa? Aku salah apa?”
            “Lo nggak salah apa-apa, Ma. Udah, ah.”
            “Nggak mau, aku nggak mau kamu pulang sebelum kamu jelasin semua.”
            “Jelasin apa, sih?”
            “Ya, kamu kenapa kayak gini?”
            Evan menarik nafasnya dan menghembuskan dengan kencang. Ia kesal dengan gadis di hadapannya itu.
            “Oke, gue jelasin biar lo puas. Kita udah terlalu deket, Ma. Lo udah punya pacar, kita nggak seharusnya kayak gini. Kedekatan kita tuh udah nggak wajar. Gue nggak mau jadi perusak hubungan orang. Gue nggak enak sama pacar lo. Gue dan dia sama-sama laki-laki, gue ngerti perasaan dia. Kita nggak bisa, Ma, kayak dulu lagi. Kita udah salah jalan.”
            “Ya terus kenapa kamu bikin aku nyaman, Van? Kenapa kamu nganterin aku ke mana-mana? Kenapa kamu deket aku pas futsal malem itu? Kenapa kamu free call aku pas aku ngambek karena kamu ngerokok? Kenapa kamu... bikin aku nyaman, Van?” Salma benar-benar hilang kendali. Ia duduk menyandar di tembok rumahnya sedangkan Evan masih berdiri. Evan memandangi gadis itu.
            “Iya, gue yang salah.” Hanya jawaban itu yang muncul dari mulut Evan.
            Salma menangis, ia terus memohon agar Evan tak menjauhinya. Bagi Salma, Evan telah mengubah segalanya. Hanya Evan lah yang berhasil menembus kekokohan hatinya. Ia tak rela bila harus kehilangan Evan, setidaknya, Salma berharap mereka masih bisa berteman.
            “Kita masih temenan, Ma. Cuman, kita nggak bisa kayak dulu.”
            “Aku maunya kayak dulu,” ujar Salma lemah.
            “Nggak bisa. Ini udah jadi keputusan gue,” jawab Evan tegas.
            “Segampang itu, ya, kamu ngelupain semuanya? Kedekatan kita?”
            “Ma, jangan lo pikir gue nggak berjuang ngelupain lo. Jangan pikir gue gampang ngelupain semuanya. Jangan pikir gue nggak sakit hati ngeliat lo berdua sama pacar lo. Kita ini udah salah, Ma. Dan udah saatnya kita kembali ke jalan kita masing-masing. Gue mohon sama lo, Ma. Lepasin gue.”
            “Van...” Salma meraih jemari Evan.
            “Gue pulang ya, Ma. Lo masuk gih ke dalam,” jawab laki-laki itu.
            “Van, nggak mau...” Salma terus menggenggam jemari Evan.
            Evan hanya tersenyum kemudian melepaskan jemari Salma yang menggenggamnya begitu erat. Laki-laki itu melepaskan dengan perlahan namun pasti. Dan ketika terlepas, laki-laki itu segera pergi meninggalkan Salma yang masih menangis, meringkuk di teras. Laki-laki itu tak menoleh lagi, bulat dengan keputusannya.

            Salma masih terus terisak, ia merasa hancur. Ia merasa rapuh. Evannya telah pergi, Evan yang mulai ia sayangi memutuskan untuk kembali tak mengenalnya. Evannya mulai mencoba melupakannya. Kini ia harus bangkit sendiri, kembali membangun hatinya. Jemarinya kosong, jemarinya tak tergenggam lagi.

Comments

Popular posts from this blog

Bentuk Bahagia

  Gue sedang berada di sebuah coffee shop berlokasi di dekat rumah gue. Gue terbilang sering ke tempat ini entah hanya untuk bertemu dan ngobrol dengan teman-teman gue atau numpang buka laptop. Sore ini, gue berniat melamar pekerjaan ke beberapa perusahaan, jadi gue membawa laptop. Nggak lupa gue juga hubungin teman-teman gue via whatsapp siapa tahu mereka ingin bergabung. Biasanya kalau sudah agak malam baru kita ngobrol-ngobrol. Sambil membuka tab job portal , gue juga sambil iseng buka quora sekedar cari insight , atau menikmati tulisan-tulisan dari banyak orang. Lalu ada satu pertanyaan yang telah dijawab oleh quoranian yang membuat gue akhirnya menulis ini, yaitu tentang bagaimana laki-laki bisa bucin terhadap pasangannya. Kata kunci, bucin. Iya, bucin. Dengan melihat kata bucin, gue langsung teringat diri gue yang memang tergolong bucin ketika menjalin sebuah hubungan dengan seseorang. Karena prinsip gue ketika mencintai seseorang, gue akan memberi seluruh hati gue, diri...

Aku yang Berbahagia

Sudah masuk waktu Subuh ketika aku menulis ini dan sudah terlipat rapi juga sajadah tempat ku bersujud tadi. Senyum sedikit terukir di bibirku, mataku menyipit. Di akhir doaku, baru kali ini aku tersenyum. Entah, apa itu senyum kelegaan atau senyum yang dipaksakan. Akhir-akhir ini aku sering berpikir seberapa berartinya seorang aku. Aku mulai menghitung-hitung sudah berapa lama waktu yang aku habiskan untuk bersedih, mengurung diri di rumah, menangis, bahkan berhenti melakukan kegiatan yang aku suka. Aku sadar bahwa aku menyia-nyiakan hariku, lalu aku melupakan hal-hal positif yang selama ini telah tertanam dalam otakku. Udara pagi hari tak pernah sesejuk ini. Ah, mungkin perasaanku saja yang tengah membaik. Udara pagi memang selalu sejuk, bahkan dari pertama kali aku lahir ke dunia ini. Mengingat kelahiranku, aku makin berpikir mengenai kesedihan yang berlarut-larut menghinggapi hatiku. Aku lahir di dunia ini membawa kebahagiaan untuk kedua orang tuaku. Ada harapan begitu...

Kepergianku Untuknya (fiksi)

Pagi ini cuaca sedikit berangin. Aku masih tetap menatap laki-laki berkaos abu-abu yang tengah duduk di bangku taman. Suasana hatinya tetap sama selama ini, mungkin karena ia belum menerima kepergianku. Bagaimana bisa aku benar-benar pergi bila ada yang belum mengikhlaskan kepergianku, ditambah lagi laki-laki itu seperti tak memiliki semangat hidup lagi.             Namanya Raka, ia suamiku. Lima bulan setelah pernikahan kami, aku mengalami kecelakaan. Mobil yang kukendarai menabrak sebuah truk yang melaju kencang dari arah barat, dan belakangan kuketahui bahwa sopir yang mengendarai truk itu dalam keadaan mabuk. Aku melihat mobilku dikerumuni banyak orang, kemudian mereka mengangkat tubuhku keluar. Saat itu aku sadar bahwa aku mungkin telah pergi. Aku ingin menangis saat melihat Raka mengguncang tubuhku agar aku bangun. Tapi tubuhku enggan merespon guncangan itu. Darah terus mengalir dari kepalaku, kemudian disusul oleh darah ya...